Harga Diri dan Pilkada Sumenep 2020

Salah satu falsafah hidup orang Madura. Harga diri itu bagian dari ‘iman’ dalam hidupnya.

Akar istilah harga diri dalam kehidupan orang Madura itu bisa ditelusuri dari pribahasa, lebih begus pote mata e tembeng pote tolang.

Maknanya, daripada hidup berputih mata (malo), lebih baik putih tulang (mate).

Latief Wiyata, peneliti asal Sumenep meneliti carok di Madura selama tiga tahun.

Dalam buku berjudul Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Latief menjelaskan, konsep todus dan malo bagi orang Madura yang menyulut carok.

Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, dua kata (todus dan malo) punya arti sama: malu.

Padahal artinya jauh berbeda.

Todus lebih ke sikap segan, atau sungkan.

Sedangkan malo menyangkut harga diri.

Itulah harga diri sebagai falsafah hidup orang Madura, kata Latief Wiyata.

Itu dulu kala.

Sebelum Narkoba bombardir Madura.

Sebelum hedonisme menawarkan orang Madura.

Sebelum politik kapitalis menjerat orang Madura.

Sebelum ratusan pesantren berdiri tegak.

Sebelum anak-anak Madura mengenal dunia pendidikan di luar.

Sekarang?

Harga diri bukan lagi identik dengan malo yang menyulut kekerasan (carok).

Harga diri sudah bertransformasi ke banyak nilai.

Dalam nilai tradisi sosial, harga diri menjelma sebagai tengka.

Sebuah tata cara hidup bermasyarakat. Tata cara menghargai orang lain. Menjungjung tinggi ada istiadat. Tak merusak tatanan yang ada.

Itu transformasi harga diri dalam tengka bagi orang Sumenep (Madura).

Tengka sebagai harga mati bagi sebagian orang Madura. Apa pun dilakukan demi tengka. Demi menjaga harga diri di tengah komunitas atau bermasyarakat.

Tengka tak cukup ditukar dengan transferan, misalnya. Masih perlu memenuhi rukun syarat. Menghargai lebih utama dari sekedar ngirim materi.

Kata orang Madura, tak parlo kereman. Parlo detengga. Kecuali very darurat. Itu pun perlu lain waktu untuk memenuhi.

Pilkada Sumenep 2020 seperti momentum untuk menguji adagium tengka.

Menguji para pendulum sosial tradisi masyarakat.

Menguji tengka para kiai.

Sosok yang ditasbihkan masyarakat sebagai penyuluh kehidupan.

Sosok yang mengajari tata cara hidup bermasyarakat.

Memang, Pilkada Sumenep 2020 hanya hajatan 5 tahunan mencari pemimpin Sumenep.

Pemimpin yang diharap bisa menawarkan aneka solusi problem yang dihadapi masyarakat.

Tapi, perlu pemimpin yang mengerti tengka.

Kecuali makna harga diri (tengka) itu sudah luntur.

Atau bertransformasi dalam bentuk lain.

Misalnya, tak parlo tengka. Sepenting tajir melintir. Tak bakhil.

Walau harga diri (tengka) terinjak-injak.

Wallahu ‘alam

1 Januari 2020

Hambali Rasidi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *