Alumni IPDN vs Non IPDN

Pejabat Alumni IPDN
Pelantikan pejabat Pemkab Sumenep

Saya harus meralat tulisan yang menyebut rangking hasil lelang jabatan eselon dua di Pemkab Sumenep dalam pengumuman itu. Saya teledor. Meski sudah baca.

Setelah tulisan itu beredar. Tak sedikit yang nelpon. Juga ada yang WA. Sebagian ngomong langsung saat bertemu.

Mereka mengoreksi penyebutan rangking urutan Hasil Penilaian Akhir Seleksi Terbuka Calon Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama di lingkungan Pemkab Sumenep yang didominasi alumni IPDN. Sekolah kepamongprajaan.

Saya membaca pengumuman itu. Emang penempatan peserta hasil assesment eselon dua itu berurutan berdasar huruf abjad.

Dalam tiga besar itu, ada juga peserta yang Non IPDN. Hanya kalah jumlah dengan peserta dari alumni kepamongprajaan.

Wajar jika urutan pertama peserta di 5 OPD itu, berisi nama-nama pejabat alumni IPDN. Karena mereka memiliki nama yang berhuruf abjad depan. “Tapi bukan karena nilai assesment tertinggi,” ucap dari balik telpon meluruskan.

Dia menyebut nama Achmad Dzulkarnain, Camat Lenteng. Arif Susanto, Camat Rubaru. Anwar Syahroni Yusuf, Sekretaris Bakesbangpol. Ach Laili Maulidy, Kabag Ekonomi dan SDA.

Nama empat pejabat asal alumni IPDN itu berawalan huruf “a”. Wajar mereka berada di urutan teratas dari tiga besar hasil assesment. Hanya Heru Santoso berada diurutan kedua karena huruf awal namanya berabjad ‘H’.

Ada juga pejabat dari alumni IPDN meluruskan tulisan saya.

“Urutan teratas bukan karena alumni IPDN, lho,”.

“Banyak peserta yang dari alumni IPDN juga tak lolos tiga besar. Termasuk teman dekat saya,” ucap si pejabat saat ketemu dalam suatu urusan.

Si pejabat itu enggan namanya disebut dalam tulisan ini. Juga enggan dicitrakan. Padahal si pejabat itu terlanjur dituding macam-macam karena kedekatannya dengan si anu.

Keperluan si pejabat itu bercerita agar publik bisa menilai objektif terhadap dirinya. Juga bisa mengerti komitmen yang akan dilakukan Bupati Sumenep Lora Achmad Fauzi dalam merekrut calon pejabat hasil assesment.

“Peserta yang dinilai dekat dengan Pak Bupati juga banyak yang tak lolos dalam tiga besar,” kata si pejabat itu menambahkan.

Curhatan si pejabat senior alumni IPDN itu mengingatkan saya pada waktu kepemimpinan Bupati Kiai Busyro. Ada peserta assesment masuk tiga besar yang diluar prediksi banyak orang.

Ekstremnya, dia bukan kategori pejabat bisa masuk tiga besar dan dipilih Bupati. Karena ia tak ikut berkeluh kuning saat Pilkada. Bahkan disebut lebih miring ke calon sebelah daripada calon terpilih.

Saat Kiai Busyro menerima aduan mereka yang ikut berdarah-darah saat pilkada. Kiai Busyro hanya tersenyum khas dan bilang singkat: lihat saja nanti.

Benar di luar prediksi. Pejabat yang kategori condong sebelah dipilih untuk dilantik. Sementara peserta di urutan bawahnya, meski ikut berpeluh kuning tak dipilih hasil assesment.

Saya penasaran apa yang melatarbelakangi Kiai Busyro mengambil sikap itu. Saya ingin nanya langsung. Saya nunggu waktu yang tepat. Syukur-syukur jika ngobrol berdua apabila ada keperluan pembicaraan sesuatu yang khas.

Waktu yang diinginkan tiba. Saya diajak ke suatu tempat. Dalam satu mobil. Duduk berdua di tengah. Pembicaraan itu mengalir. Lalu saya nanya keputusan hasil assesment yang disebut di atas.

Jawaban Kiai Busyro mencerahkan. Begini jawabannya. “Saya nyari pejabat yang bisa membantu pekerjaan Bupati,”

“Idealnya, pejabat itu memiliki kemampuan, bisa bekerja tentu loyal ke atasan. Tapi kan susah nyarinya. Terbentur aturan,”.

“Kalau kriteria itu tak ada, Bupati milih yang bisa kerja, meski tak punya kemampuan. Yang punya kemampuan, tapi tak bisa kerja. Bisanya hanya berwacana. Itu bikin repot ke bupati,”.

Emang, gampang-gampang susah menggerakkan roda birokrasi pemerintahan dari Kepala Daerah hasil pilkada. Karena Kepala Daerah itu dihadapkan dua tuntutan.

Pertama, Kepala Daerah harus bisa menunjukkan ke masyarakat bahwa sejak dirinya memimpin bisa mewujudkan apa-apa yang diharapkan masyarakat. Program pembangunan dirasakan. Ekonomi warga bergerak. Dan lain sebagainya.

Intinya program unggulan yang dijanjikan saat pilkada terwujud. Dan dirasakan manfaatnya oleh warga.

Kedua, Kepala Daerah terpilih harus mengakomodir kepentingan para pendukungnya. Seperti yang disebutkan di atas. Mereka yang ikut berdarah darah dalam merebut kemenangan.

Mereka itu terdiri dari berbagai elemen. Ada yang berlatar kultur. Juga politisi. Berlatar birokrasi. Berlatar kontraktor. Juga ada dari latar aktivis. Dan macam-macam lain latarbelakang itu.

Jika si Kepala Daerah tak bisa mengakomidir kepentingannya. Macam-macam lah yang keluar dari lisannya.

Tapi juga ada pendukung yang nrimo. Menerima apa adanya. Mereka biasanya mendukung si calon pilkada karena suka. Masuk kelompok pecinta. Bukan karena kepentingan pribadi.

Dua tantangan kepala daerah di atas perlu dipahami oleh mereka para pendukung-yang katanya ikut berdarah-darah. Agar calon yang didukung bisa tercitra beneran. Bukan polesan.

Saya terbesit. Mencoba meraba dari jauh. Apa yang melatarbelakangi Bupati Lora Fauzi memberi ruang kepada para alumni IPDN di kepemimpinannya.

Saya teringat ungkapan John Locke. Filsuf kelahiran Inggris ini menyebut, semua pengetahuan yang dimiliki manusia datang dari pengalaman.

Barangkali dalam benak pikiran Lora Fauzi. Pejabat berlatarbelakang kepamongprajaan memiliki pengetahuan birokrasi mumpuni setelah ditempa di kampus Pamong Praja. Harapannya bisa meringankan bebannya dalam menjalankan roda pemerintahan.

Alumni IPDN atau STPDN atau IIP (Institut Ilmu Pemerintahan), telah mewarnai pemerintahan mulai tingkat nasional, provinsi, daerah hingga kecamatan. Memang, sekolah itu dibiayai negara untuk mencetak abdi negara seperti yang dicitakan bangsa dan negara.

Di Provinsi Jatim, ada lebih 3 ribu alumni IPDN yang tersebar di pemerintahan provinsi, pemerintah kabupaten/kota hingga kecamatan.

Pejabat alumni IPDN di Pemkab Sumenep belum mendominasi. Baru sekian OPD terisi dari IPDN. Belum separuh.

Alumni IPDN yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Alumni Pendidikan Tinggi Kepamongprajaan (IKAPTK) selalu satu suara. Mereka terdokrtrin sejak sekolah kedinasan agar selalu menghormati yang senior. Yang muda juga menjadi perhatian senior.

Loyalitas dan pengetahuan di dunia birokrasi secara formal sudah dimiliki alumni kepamongprajaan. Tapi itu bukan jaminan. Tergantung individunya. Sifat dan keperibadiannya. Ada juga yang belum memenuhi kriteria ideal.

Sama juga dengan label alumni pesantren. Bukan jaminan menjadi sosok yang ‘alim. Bersikap zuhud kesehariannya. Juga tergantung individunya.

Pola kerja setiap OPD di pemerintah juga berbeda. Tergantung tugas dan fungsinya.

Untuk mengetahui kadar kemampuan calon pejabat OPD itu, emang perlu dilakukan assesment. Menguji kadar keahlian dan pengetahuan calon pejabat sesuai kebutuhan OPD.

Maka muncul nilai hasil assesment. Nilai itu menjadi rangking. Hanya pengumunan hasil assesment tak dibocorkan ke publik. Infonya, nama di urutan buncit punya nilai teratas.

Entah, lah.

Yang pasti, Kepala Daerah hasil Pilkada dihadapkan dua misi yang disebutkan di atas.

Bisa jadi, langkah Bupati Lora Fauzi memberi ruang ke alumni IPDN. Termasuk juga memberi ruang ke pejabat Non IPDN di kepemimpinannya. Agar bisa mewujudkan dua kepentingan seperti disebut di atas.

Barangkali begitu, kata kura-kura dalam perahu.

Bagaimana menurut Anda?

Ngenom lu…

hambali rasidi

1 April 2022

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *