Beberapa hari. Netizen riuh membahas pejabat Pemkab Sumenep hasil assesment yang semuanya dari alumni IPDN.
Riuh netizen itu bukan mempersoalkan lima pejabat yang sudah dilantik Bupati Sumenep Achmad Fauzi. Netizen sadar, itu merupakan hak preogratif Bupati untuk memilih di antara tiga peserta assesment.
Konten bahasan netizen itu, saya anggap menarik. Kenapa? Karena ada bahasa bukan putra daerah. Perubahan siklus. 20 tahun lalu, pejabat Sumenep didominasi bertitel Raden Bagus (RB). (Materi bukan putra daerah dan keberadaan pejabat berlatar Raden Bagus dan Alumni IPDN akan diulas tulisan berikutnya)
Dan macam-macam-lah. Termasuk ada yang memuji setinggi plafon atas sejumlah pejabat alumni IPDN di kepemimpinan Bupati Lora Fauzi.
Seperti penjelasan netizen bernama Anang Endro. Penjelasan Anang panjang.
Saya kutip singkat:
Tak mudah bisa sekolah kepamongprajaan (STPDN/IPDN). Negara sengaja membiayai putra-putra bangsa untuk dicetak sebagai abdi negara di bidang birokrasi. Sama halnya dengan sekolah khusus TNI dan Polri. Seperti, Akademi Militer (Akmil) dan Akademi Polisi (Akpol). Saya yakin, lulusan Akmil, Akpol dan STPDN merupakan orang-orang yang berkualitas. Yang heran, jika alumni STPDN/IPDN tak punya jabatan di birokrasi.
Juga ada netizen yang mengkritisinya nyaris telanjang. Cletukan netizen: ada pejabat kontroversi karena pernah “diusir” oleh kades. Juga pernah dilaporkan ke Kejaksaan.
Clotehan itu ada yang membantah. Kata netizen, si pejabat mengaku tak punya salah waktu jadi camat. Para kades waktu itu berbondong-bondong minta ke Bupati untuk dipindah karena subjektif saja.
Entahlah.
Emang menarik bahasan riuh netizen. Kata banyak ungkapan: setiap zaman ada orangnya. Setiap orang ada zamannya.
20 tahun lalu. Bisa jadi jauh sebelum itu. Pejabat Pemkab Sumenep mayoritas bertitel Raden Bagus (RB) atau RA (Raden Ajeng) atau Roro.
Saya tak menyaksikan sebelum 20 tahun lalu. Kemungkinan itu bisa benar karena pegawai pemerintahan Sumenep banyak diisi putra/putri atau keturunan Adipati/Sultan usai bergabung ke Indonesia setelah kemerdekaan.
Sejak otonomi daerah diberlakukan. Kekuasaan daerah begitu leluasa. Penguasa daerah diberi hak otonom dalam merekrut pegawai (PNS).
Termasuk memutasi dan mempromosikan PNS menduduki jabatan tertentu.
Pernah suatu ketika. Pada wal otonomi. Tahun 2001. Pelantikan pejabat Sumenep diisi satu keluarga besar. Mereka yang dilantik Bupati Sumenep Kiai Ramdlan waktu itu terdiri dari saudara kandung, keponakan-paman.
Publik banyak tak ngerti. Tapi salah satu anggota DPRD Sumenep, waktu itu, alm Raud Faiq Jakfar menyebut ke media: apa-apaan ini. Mutasi dan promosi jabatan kok satu keluarga. Saudara kandung. Paman dan keponakan.
Satu keluarga yang dimaksud Pak Dewan: Keluarga besar Raden Bagus (RB).
Humas Pemkab Sumenep waktu itu meluruskan: Pak Bupati memutasi dan mempromosikan jabatan sudah sesuai dengan mekanisme dan peraturan yang ada.
Memang tak ada yang salah dalam memutasi dan mempromosikan jabatan. Apalagi di awal otonomi. Peraturan tak setransparan saat ini.
Memang di atas peraturan ada nilai. Publik memahami nilai itu, salah satunya kearifan lokal.
Pemimpin yang cerdas bisa memahami pesan di luar teks. Makna yang mengitari di luar peraturan.
Salah satu contoh mutasi pejabat fungsional, seperti Kasek SD di Sumenep akhir Maret lalu. Meski tak ada usulan dari bawah. Dinas atau kepegawaian beralibi peratuan membolehkan, dengan dalih bla-bla.
Padahal di atas aturan formal yang membolehkan kasek dimutasi, ada sekolah yang terancam tutup jika si Kasek tetap dipindah ke sekolah lain.
Itu bukan ancaman. Tapi sikap resmi dalam bentuk surat yang ditujukan kepada Bupati Sumenep Achmad Fauzi atas nama Ketua Komite SDN Karamian 3 Masalembu.
Begini surat penolakan Arifin, Ketua Komite SDN Karamian 3 yang diterima redaksi:
Apabila Pak Supriyo tetap dimutasi atau keluar dari SDN Karamian 3. Atas nama Ketua Komite SDN Karamian 3 tak bisa menghalangi jika para wali murid memindahkan putra putrinya pindah belajar ke Madrasah Ibdtidaiyah yang bersebelahan dengan SDN Karamian 3.
Perlu diketahui oleh Bapak Bupati Achmad Fauzi. Peran Pak Supriyo dalam merekrut anak-anak kampung agar bersedia sekolah ke SDN Karamian 3 sangat besar. Padahal di sebelah SDN Karamian 3 berdiri Madrasah Ibdtidaiyah yang dikelola oleh saudara istri.
Kenapa para orang tua memilih menyekolahkan anak-anaknya ke SDN Karamian 3 daripada ke Madrasah Ibdtidaiyah?
Itulah peran Pak Supriyo yang terasa bagi kami selaku Ketua Komite SDN Karamian 3 Masalembu. Pak Supriyo bersedia berkorban demi kemajuan dunia pendidikan di SDN Karamian 3.
Jauh sebelum masa penerimaan siswa baru, kami bersama anggota komite sekolah lainnya disupport oleh Pak Supriyo agar merayu para orang tua yang memiliki anak, supaya bisa menyekolahkan putra putrinya ke SDN Karamian 3.
Bapak Bupati Achmad Fauzi bisa merasakan bagaimana susahnya mencari anak-anak di kampung agar bersedia sekolah ke SD apabila berdekatan dengan Madrasah Ibdtidaiyah. Jika Kepala Sekolah tak mau berkorban, nasib sekolah hanya tinggal bangunan.
Alhamdulillah, melalui ikhtiar tanpa henti dan dukungan dari Pak Supriyo, banyak orang tua yang mempercayakan anaknya bersekolah di SDN Karamian 3.
Saat ini, jumlah siswa SDN Karamian 3 berjumlah 60 siswa. Jumlah ini terbanyak di SDN Pulau Karamian.
Surat penolakan Ketua Komite Sekolah secara resmi di atas sebatas contoh. Itulah urgenitasnya dari nilai di atas peraturan.
Jika penentu kebijakan berikukuh denga peraturan. Mengabaikan nilai, sebuah kearifan lokal. Pasti ada korban.
Nilai di atas peratuan, saya kira perlu diperkaya oleh para alumni IPDN. SDM-SDM tangguh didikan sekolah kepamongprajaan perlu dibekali pengetahuan di luar teks. Istilah oreng Sumenep, ilmu se tak atoles.
Nah, salah satu kelebihan dan kekurangan SDM berlatar Raden Bagus itu menomorduakan peraturan formal. Mengedepankan nilai, suatu kearifan lokal. Pengetahuan dari ilmu tak atoles, dipraktekkan.
Tapi, itu Raden Bagus tempo dulu. Banyak yang arif billah. Sekarang? masih ada sisa-sisanya.
Selebihnya, banyak yang berkata-kata alias yahannu.
Pertanyaan netizen terus berkutat pada lima pejabat hasil lelang yang dilantik Bupati Sumenep Lora Achmad Fauzi bukan putra daerah.
Kesemuanya berasal dari luar Kabupaten Sumenep.
Sampai ada netizen yang minta agar tak mempersoalkan primordialisme. Biar tak ada pengkotak-kotakan di tubuh Pemkab Sumenep.
Netizen ingin tak ada lagi label: pejabat alumni IPDN dan non IPDN. Pejabat putra daerah dan non putra daerah. Alumni IPDN dan Raden Bagus.
Netizen minta diakhiri pola pikir yang menyebut ada pejabat Sumenep berlatar ini dan itu.
Seorang pejabat menghampiri saya. Dia emang kenal lama dan akrab dengan saya. Lalu berpesan:
“Jangan mempersoalkan dia lahir di mana. Yang penting hatinya sama. Bisa berbuat untuk orang lain,” ucap si teman pejabat asal Pulau Jawa itu.
Emang si pejabat itu biasa ngomong vulgar. Ngomong apa adanya. Saya maklumi dia karena tak berkultur Sumenep.
Atau sedang lagi emosi. Curhat ke saya selaku teman lama. Kok mempersoalkan pejabat alumni IPDN dan Raden Bagus. Pejabat putra daerah dan luar daerah.
Dari percakapan Grup-Grup WhatsApp.
Ada percakapan yang menarik:
“Ayo bangun Sumenep untuk kita semua,” tulis netizen.
Netizen lain menimpali: kata siapa mau membangun?. Mereka mau berkuasa, bukan hendak membangun. Semuanya ekaot.
Dialog netizen di berbagai Grup-Grup WhatsApp emang banyak mengundang kecut. Seringkali mengundang tawa.
Saya anggap hiburan baru, daripada main trading online. Ujung-ujungnya bodong.
Di usia saya yang transisi. Belum masuk sepuh. Juga lewat kategori milenial. Kadang banyak yang nyemprot. Gegara ikut-ikutan yang bukan maqam saya, katanya.
Tapi saya cuek saja semprotan itu. Toh melakukan yang bukan maqam-katanya. Saya anggap itu bukan maqam jalan salik. Sebagaimana dawuh Syech Ibn Athaillah Iskandariyah di al-Hikam.
Saya berprinsip asal hati suka. Menyuarakan yang sekiranya terlampau angkuh. Ugal-ugalan bersepeda di jalan raya, yang dianggap milik pribadinya.
Si kawan di Grup WhatsApp secara vulgar menegur saya denga kata-kata begini:
Duh nape mempersoalkan mutasi. Kalau tak mau dimutasi kok mau jadi PNS. Terlalu, ente nuduh penguasa zalim.
Saya diam tak meluruskan semprotan si teman.
Lain kesempatan.
Si teman mengirim gambar video aksi mahasiswa untuk 11 April ke sejumlah Grup WhatsApp.
Si teman memberi pengantar kurang lebih begini; saatnya kezaliman dilawan dengan suara kebenaran. Dengan jumlah adik-adik mahasiswa ini, siapa yang mau bayar.
Nah kebetulan, pikirku.
Dulu, saya mau jelasin takut gak nyambung. Saya mau ngomong kalau apa yang ditulis bukan karena benci ke pribadinya. Bukan mau melawan ke pribadinya
Saya ingin mengatakan untuk melawan keangkuhan: kesombongan. Semena mena kepada yang lemah.
Hingga sesumbar ke banyak orang, kalau dirinya bisa berbuat. Memutasi PNS-lebih susah membuang puntung rokok.
“Wih…sombong banget,” dalam hati.
Saya teringat tulisan seorang netizen:
“Luka hati yang terdzalimi akan mengadu hingga arsy bergetar,”.
Cukup momen yang ditunggu. Si teman nyentil penguasa zalim. Saya jawab dalam percakapan grup itu:
“Kenapa anda kok masih percaya pada narasi penguasa zalim?
Bukankah anda sendiri yg bilang, Duh Nape na mon tak nerima mutasi kok jadi PNS.
Itu korban kezaliman. Dipilih baru ditebang,“.
Saya tunggu jawaban si teman dari penjelasan itu. Tapi tak jawab-jawab.
Berbagai Grup WhatsApp saya anggap sebagai sarana berkomunikasi. Sarana meraih mimpi.
Berteman dan akrab di medsos, terkadang tak pernah ketemu fisik. Tukaran di medsos. Kalau ketemu darat, sengar sengir dan berpeluang.
Kalau mau dibandingkan sama dengan kisah seseorang yang masih hidup di dunia. Tapi sudah akrab dengan para malaikat dan para arwah Waliyullah.
Dalam konteks agama, berbagai platform medsos, bisa dianggap sebatas wasilah. Tergantung kita mengarahkan wasilah itu kemana.
Persoalan-persoalan sosial, ekonomi, politik dan lainnya banyak tercurahkan di berbagai platform medsos. Tinggal kita milih. Mana yang bisa diambil sesuai nurani.
Termasuk 5 pejabat hasil lelang jabatan eselon 2 di Pemkab Sumenep. Riuh di medsos. Tapi adem ayem di dunia nyata.
Namun ada yang membisiki: emang sunyi mas. Tapi seperti api dalam sekam.
Lalu si teman mengirim sebuah tulisan yang beredar di berbagai Grup-Grup WhatsApp.
Begini isi lengkap tulisan itu:
Ini Tulisana Siapa?
Untuk Sahabat dan Orang-orang yang Selama Ini Terjalin Emosi
Anda perlu ngerti.
Kenapa saya tak terlalu usil melihat praktik-praktik berjamaah. Praktik ugal-ugalan.
Saya sadar.
Menyampaikan ke jalur yang benar seperti menegakkan benang basah. Mereka seperti orang yang pura-pura tidur.
Percuma melangkah meniru para pejuang 45. Toh Indonesia sudah merdeka. Generasi penerus yang menikmati.
Emang.
Setidaknya praktik-praktik itu bisa disuarakan ke publik. Biar publik bisa menilai.
Meski publik sudah cerdas. Bisa menilai yang hak dan bathil. Mana yang ber-nurani dan zalim. Mana yang bertopeng lugu dan sederhana, tapi berwujud angkara murka.
Hanya mereka enggan bersuara. Tak punya sejarah sebagai pemberontak. Mereka selalu memegang tradisi tawasuth, tasamuh dan tawazun.
Namun dalam hatinya menangis. Hanya berseru kepada Allah SWT, Penguasa Alam Raya.
Mereka menyerahkan sepenuh urusan kepada-Nya.
Ngantos murka alam.
Jika semua mingkem. Dan larut pura-pura tidur. Sambil Ngaot.
Saya tak bisa memberi komentar tulisan misterius itu.
Saya menafsiri: substansi tulisan itu, seperti pribahasa Madura:
Loka Ta’ Adhara
Epengkot Ta’ Atale
Tafsir singkat saya tak dijawab oleh si teman.
Barangkali dia lagi puasa. Mau yahannu, takut dosa.
hambalirasidi