Religi  

Ketika Allah SWT dan Malaikat Bershalawat

Ketika Allah Bershalawat
ilustrasi

Di sebuah rumah mungil di kampung Bani Hasyim di Makkah. 12 Rabiul Awal 571 M. Terdengar jerit tangis bayi baru lahir.

Bayi itu lahir dari rahim Aminah. Lalu digendong oleh dukun bayi, Syifa’. “bayinya laki-laki,” bisik ‘bidan’ Syifa’. Aminah tersenyum lega.

Bayi itu diberi nama Muhammad (Yang Terpuji) oleh sang Kakek, Abdul Muthalib.

Aminah teringat mendiang suaminya, Abdullah bin Abdul Muthalib. Beliau meninggal dunia di Yastrib (Madinah). Enam bulan sebelum bayi Muhammad lahir.

Bayi yatim itu tumbuh besar menjadi Rasul Allah terakhir. Membawa risalah Ilahi untuk seluruh alam.

Allah SWT dan Malaikat bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagai tanda bahwa Allah SWT suka kepada sang Nabi Saw sebagai ciptaan-Nya yang begitu sempurna. Melebihi ciptaan yang lain.

Malaikat juga bershalawat. Sebagai bentuk penghormatan atas keluhuran pribadi Rasulullah SAW.

Allah memuji. Malaikat menaruh hormat.

Sebagai ummat Nabi Rasul Muhammad. Rindu dan cinta perlu disematkan dalam lubuk hati. Menggelora bila mendengar namanya. Rindu untuk bertemu.

Itulah kekasih yang dicinta.

Apa yang berbau dicinta. Ingin memeluk kehangatannya. Termasuk meluapkan suka cita setiap tanggal kelahirannya.

Maulid Nabi sebuah ritual merayakan kelahiran kanjeng Nabi Muhammad Saw.

Tak peduli dengan tudingan bid’ah. Ibadah yang tidak dilakukan Nabi SAW, tudingnya.

Vonis halal haram melebihi gelora rindu dan cinta kepada kekasih yang dicinta.

Maulid Nabi SAW memang tidak ada perintah wajib atau sunnah. Tidak ada dalil Al-Qur’an dan al-Hadits untuk ber-Maulid Nabi Saw.

Nabi SAW ketika ditanya, “Bagaimana ucapan bershalawat, ya Rasul,”. Nabi Saw hanya menjawab singkat, “Allahumma Shalli ‘ala Muhammad,”.

Begitulah sikap pribadi luhur Rasul Allah SWT. Tak minta dipuja puji. Tanpa diminta sebutan embel-embel; Kanjeng Nabi..Sayyidina..Maulana, dll.

Apa dosa, bila ummat Nabi Saw meluapkan kerinduan dan kecintaan dengan untaian kata Kanjeng Nabi..Sayyidina..Maulana?

Inilah cinta.

Melebihi batas hukum hitam putih. Gelora rindu dan cintanya tulus mengalir dalam aliran darah jiwa raga.

Bershalawat tanpa batas waktu. Sebagai ummat. Sepanjang masa. Tidak diikat bulan. Karena gelora rindu dan cinta.

Bukan karena latah. Ingin dipuji konstituen. Ingin dipuji mitra. Merayakan gebyar di bulan kelahiran kanjeng Nabi Saw.

Maulid Nabi Saw tidak wajib. Ber-Qurban jelas wajib. Perintah Allah tertuang dalam Al-Qur’an surat al-Kautsar. “dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah,”.

Kewajiban berqurban. Bagi yang mampu. Berqurban sebagai bentuk memberikan harta yang dicintai. “sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai,” Ali-Imran;92.

Gebyar Maulid Nabi menghabiskan Rp 35 juta, misalnya. Tapi tak berqurban. Atau berqurban secuil.

Entah apa yang merasukimu?

Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina wa Maulaana Muhammad. (hambalirasidi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *